15 Agustus 2011. Langit cerah tanpa awan. Matahari terasa dekat, teriknya memanggang. Puncak Anak Krakatau menyemburkan asap tipis, delapan puluh meter dari jangkauan. Batuan lepas berguguran saat diinjak dan udara bertuba menyesakkan napas.
Sejauh mata memandang di ketinggian itu hanyalah batuan runcing, pasir, abu, dan bom—batuan pijar yang setelah mendingin tampak seperti gumpalan lumpur berwarna hitam legam tetapi sangat keras dan pejal. Bom yang saat dilontarkan bersuhu lebih dari 600 derajat celsius itu menciptakan lubang-lubang di dalam tanah, sebagian menghanguskan tanaman. Suhu pada permukaan tanah tercatat mencapai 45 derajat celsius.
Semakin ke atas menuju puncak, daratan tertutup lapisan putih kekuningan berbau belerang. Di balik lapisan putih itu, bumi seperti bergolak, panasnya menguar dan menyengat kulit. Pada kedalaman setengah meter bisa mencapai 60 derajat celsius.
Kondisi lingkungan yang ekstrem membatasi perkembangan vegetasi hanya pada zona di bawah 200 meter dari permukaan laut (mdpl). Cemara laut (Casuarina equisetifolia) hanya bertahan di pesisir pantai. Di beberapa bagian terdapat tegakan campuran waru laut (Hibiscus tiliaceus), mara (Macaranga tanarius), dan beringinan (Ficus fulva dan Ficus septica).
"Sebelum letusan Oktober-November 2010, di kawasan ini masih banyak paku-pakuan. Bahkan cemara juga sudah mulai tumbuh. Semua tersapu habis sekarang," kata Tukirin Partomihardjo (59). Selama 30 tahun, profesor botani dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu meneliti suksesi ekologis di Krakatau. Dia mendata spesies yang datang dan hilang di Krakatau.
Menurut Tukirin, tak diragukan lagi, Anak Krakatau yang kerap meletus menyebabkan kehidupan muskil hadir di zona 200 mdpl hingga ke puncaknya di ketinggian sekitar 286 mdpl. Suasana "kekosongan" itu mengingatkan pada catatan Rogier DM Verbeek, geolog Belanda, yang datang ke Krakatau pada 11 Oktober 1883 atau enam minggu setelah letusan hebat mengguncang pada 27 Agustus 1883. "Permukaan tanah asli terkubur lapisan abu dan batu apung. Daerah ini masih sedemikian panasnya, sehingga beberapa pemikul barang yang bertelanjang kaki terus berjingkat-jingkat seperti menari."
Verbeek menjadi orang pertama di Rakata, kepingan pulau yang tersisa setelah Krakatau meletus. Pulau Krakatau yang semula tersusun dari tiga puncak, yaitu Danan (450 mdpl), Perbuatan (120 mdpl), dan Rakata (822 mdpl), kemudian runtuh ke dalam laut. Hanya tersisa setengah tubuh Rakata yang berbentuk bulan sabit menghadap kaldera yang tersembunyi di kedalaman 180 meter di bawah permukaan laut. Sedangkan Pulau Sertung dan Panjang, sisa kaldera tua sebelum letusan 1883 yang berada di lingkar luar Pulau Krakatau semakin bertambah luas dan tinggi karena tertimbun abu dan batu apung sampai ketebalan lebih dari 50 meter.
Pada waktu itu, daratan Rakata masih terlalu panas. Verbeek menyaksikan air hujan yang berubah menjadi uap saat menyentuh lantai pulau yang panas. Aliran lumpur mengucur dari tebing yang dilapisi lava. Ia tak melihat tanda-tanda kehadiran makhluk hidup di sana.
Sertung dan Panjang juga tak menyisakan kehidupan, selain tonggak-tonggak kayu mati yang hangus terbakar. Gambaran tentang hutan lebat dalam sketsa John Webber, anggota tim ekspedisi Kapten James Cook yang menyinggahi Krakatau dan pulau-pulau di sekelilingnya sebelum 1883, sama sekali tak terlihat jejaknya. Verbeek pun berkesimpulan, seluruh kehidupan di pulau itu pasti telah musnah.
Pendapat itu kemudian didukung sejumlah ahli botani, seperti Melchior Treub, Direktur Kebun Raya Bogor (1880-1909) sehingga memunculkan konsep tentang area kosong (clean slate) atau tabula rasa. Treub (1888) meyakini, seluruh kehidupan di kawasan Krakatau musnah karena abu vulkanik yang sangat panas dan batu apung menutup kawasan ini dari pantai sampai titik tertinggi hingga ketebalan 80 meter.
Namun, pendapat lain dikemukakan Cornelis Andreis Backer, anak buah Treub. Pada tahun 1908, dia mengunjungi Krakatau dan berpendapat bahwa terdapat akar, benih, dan organisme tanah yang mungkin bertahan dalam lubang yang terlindung di beberapa tempat di bagian selatan Rakata. Pendapat ini dibuatnya setelah dia melihat adanya batang kayu besar yang masih segar di bawah timbunan batu apung. Di lereng agak tinggi di bagian selatan, dia juga menemukan abu tidak terlalu tebal menutupi. Dia berpendapat bahwa musim hujan pada bulan September dan Oktober 1883 mungkin menyebabkan bertahannya kehidupan.
Tukirin menolak pendapat Backer. "Batang kayu yang ditemukan Backer bukan dari Rakata, tetapi dibawa gelombang laut beberapa tahun setelah letusan, lalu tertimbun longsoran batu apung," katanya.
Tukirin semakin yakin bahwa letusan Krakatau pada 1883 telah menciptakan tabula rasa setelah dia menemukan tonggak kayu menjadi arang, yang tersingkap di tebing pantai Rakata. "Arang kayu itu tertimbun batu apung dan pasir hingga kedalaman lebih dari 20 meter meter. Tidak mungkin ada kehidupan bertahan di bawah timbunan sedalam itu," katanya.
Hilangnya seluruh kehidupan setelah letusan 1883 atau adanya beberapa kehidupan yang bertahan masih menjadi perdebatan dengan bukti dan alasan masing-masing. "Kontroversi ini menjadi begitu mapan sehingga ia sudah lama diberi nama the Krakatoa (Krakatau) problem," tulis Simon Winchester (2003).
Namun, bagaimana pun kerasnya perdebatan, setiap ahli botani tetap saja tergelitik untuk mengetahui bagaimana kehidupan mengisi Krakatau pasca-letusan besar itu? Kapan, siapa atau apa, yang pertama kali datang dan mengolonisasi tabula rasa—atau setidaknya nyaris seperti tabula rasa itu?