Pages

Potret Desa TKI di Lombok NTB

Share and Enjoy! :

Provinsi Nusa Tenggara Barat  merupakan daerah pemasok jasa tenaga kerja Indonesia ke luar negeri yang cukup besar. Selama empat bulan pertama 2011, NTB mengirim 15.000 TKI ke sejumlah negara, baik Malaysia maupun Timur Tengah. Pada 2010, NTB mengirim 56.162 TKI, meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 54.000.

Pengiriman jasa tenaga kerja itu dilakukan hampir seluruh kabupaten/kota di NTB, seperti Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, Lombok Utara, Kota Mataram, Kota Bima, Kabupaten Bima, Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, dan Dompu. Tidak heran jika di NTB banyak ditemukan kawasan-kawasan yang penduduknya memilih bekerja di luar negeri, daripada mengais rezeki di desanya.

Salah satu desa yang dikenal sebagai kampung TKI, yakni Desa Gelogor, Kecamatan Kediri, Lombok Barat. Desa dengan luas wilayah 168.162 hektare itu berpenduduk 6.194 jiwa yang terbagi dalam 2.017 kepala keluarga. Selain menjadi TKI, penduduk Desa Gelogor mengandalkan sektor pertanian dan perdagangan sebagai mata penghasilan mereka.

Desa ini memiliki lahan pertanian padi dan palawija seluas 100 hektare lebih. Luas lahan pertanian itu tidak termasuk ladang yang lahannya lebih banyak ditumbuhi bambu dan ilalang. Biasanya, kawasan itu dijadikan tempat mencari kayu bakar oleh warga sekitar.

Dari 6.000 jiwa, sebanyak 600 lebih, baik pria maupun wanitanya, memilih bekerja sebagai TKI di Malaysia dan Timur Tengah. Menurut Penjabat Sementara (Pjs) Kepala Desa Gelogor, Marwan, jumlah warganya yang menjadi TKI cenderung stabil dari tahun ke tahun. Keberadaan TKI itulah yang meningkatkan taraf perekonomian masyarakat setempat. "Hal itu terlihat dari rumah-rumah yang baru dibangun cenderung besar dan mewah. Semua itu rata-rata dari hasil para TKI," tutur Marawan yang ditemui di kantornya.

Marwan menambahkan, di antara 600 lebih TKI yang bekerja di Malaysia dan Timur Tengah itu, hampir 75 persen berhasil. Banyak dari mereka yang bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Ada juga yang berhasil membangun bisnis perdagangan yang berkelanjutan sehingga mereka tidak melulu menjadi TKI.

Meski begitu, ada juga TKI yang bermasalah, di antaranya karena gaji yang tidak dibayar maupun terjerat kasus hukum seperti Muhammaddun, yang dipenjara sejak 3 Juni 2002 dengan hukuman 15 tahun di Penjara Kluang, Johor Baru. Namun, hal itu tidak menyurutkan keinginan masyarakat yang berusia produktif untuk berangkat ke luar negeri.

Selain itu, menurut Marwan, tingginya angka pengangguran bagi masyarakat usia produktif yang mencapai 40 persen menjadi alasan banyaknya masyarakat yang memilih menjadi TKI. Lagipula, rata-rata pengangguran itu banyak didominasi lulusan sekolah menengah atas. Mereka ini dinilai tidak memiliki keahlian dalam bidang pekerjaan tertentu, sehingga memilih bekerja sebagai buruh kelapa sawit di Malaysia atau menjadi sopir di Arab Saudi.

Sementara itu, wanitanya juga memilih menjadi pembantu rumah tangga di Malaysia atau Timur Tengah. Pada 2011 ini, jumlah tenaga kerja wanita dari Desa Gelogor yang ke Timur Tengah cukup tinggi. "Habis kalau mau bekerja di sektor formal seperti ke Jepang mereka tidak memiliki dana yang cukup. Saudara saya saja dimintai Rp24 juta untuk dapat ke Jepang," ujarnya.

Agar dapat bekerja ke luar negeri, masyarakat Gelogor rata-rata mengandalkan pinjaman uang. Bagi pekerja laki-laki, untuk ke Malaysia saja rata-rata harus mengeluarkan biaya Rp4 juta. Sementara itu, untuk bekerja ke Arab Saudi mereka harus mengeluarkan biaya lebih dari itu.

Lain halnya dengan TKW yang ingin berangkat ke Timur Tengah. Menurut Marwan, saat ini perusahaan Pengiriman Jasa Tenaga Kerja Indonesia menggratiskan biaya bagi TKW yang ingin bekerja di Timur Tengah. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan modal awal sebelum pemberangkatan.

Meski banyak warga Gelogor yang memilih menjadi TKI, perangkat desa tidak memiliki data yang memadai mengenai TKI, baik siapa saja yang berangkat dan daerah tempat dia bekerja. Hal ini ditengarai karena banyaknya perekrut tenaga kerja yang tidak mengoordinasikan pengurusan data-data atau persyaratan TKI di kantor desa setempat.
"Kebanyakan mereka mengurus persyaratan sendiri-sendiri, baik terkait kartu tanda penduduk, kartu keluarga, atau surat izin keluarga. Jadi, pihak desa sulit mempunyai data pasti. "Ke depan, kami berupaya memperketat pendataan ini agar lebih transparan," tandasnya.

Marwan juga menolak jika desanya dianggap sebagai daerah pemasok TKI yang menimbulkan kesan negatif. Apalagi sampai disebut sebagai desa "Janda Malaysia" atau Jamal.

Terlepas dari itu, Provinsi Nusa Tenggara Barat sudah menerapkan sistem Layanan Terpadu Satu Pintu untuk penempatan dan perlindungan TKI keluar negeri. LTSP itu dibentuk berdasarkan Peraturan Gubernur No 32/2008. LTSP ini merupakan penyatu seluruh instansi pelayanan terhadap dokumen TKI. LTSP ini mempermudah penempatan TKI di luar negeri sehingga dapat menurunkan jumlah TKI bermasalah.

LTSP melibatkan unsur/instansi terkait meliputi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB, Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, Imigrasi, Sarana Kesehatan, Bank Peserta Program, Konsorsium Asuransi, Pelayanan Pajak BFLN, dan Maskapai Penerbangan (Merpati).

Meski begitu masih ada saja TKI yang bermasalah. Data BP3TKI NTB menyebutkan terdapat 204 kasus yang dihadapi TKI asal NTB. Sebanyak 113 Kasus sudah berhasi diselesaikan dan sisanya sedang dalam proses.

Kepala BP3 TKI NTB Komang Subadra menjelaskan kasus yang ditangani BP3TKI cukup bervariasi.  Ada kasus yang dilaporkan tanpa latar belakang yang jelas. Hingga saat ini BP3TKI masih menangani 37 kasus yang menonjol seperti kasus penganiayaan sebanyak 10 kasus, 4 kasus pelecehan sexsual, 9 kasus gaji tidak dibayar dan 14 kasus hilang kontak.

"Ada juga TKI yang terkena kasus hukum seperti Muhammaddun, Syamsul Hakin dan Marhum. Yang terakhir adalah kasus Edy Saputra Alias Supriadi asal Sumbawa Barat yang terancam hukuman mati di Kuching Malaysia," kata Subadra.

Selain kasus tersebut, ada juga kasus TKI yang kabur dari majikannya karena upah yang mereka terima tidak sesuai kesepakatan. Pada 6 Mei 2011 lalu sebanyak 163 TKI NTB yang bekerja di Arab Saudi dipulangkan ke daerah asalnya.

Data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyebutkan di antara 163 TKI bermasalah itu sebanyak 15 wanita hamil, 11 balita, dan tujuh orang anak-anak. Rata-rata TKI itu dipulangkan karena sejumlah masalah seperti habis masa kontrak kerja, perlakuan dari majikan dan pelecehan seksual. (Laporan: Edy Gustan | Mataram, umi)
• VIVAnews