Mungkin anda semua pernah menemui
orang-orang semacam ini. Ya, orang yang jarang ataupun enggan
menggunakan kata ganti ketika berbicara. Yang dimaksud kata ganti di
sini misalnya, “Saya”, “Kamu”, “Dia”, dan sebagainya yang lazim
digunakan dalam percakapan. Ketika berbicara, dia lebih suka menyebut
nama seseorang dibanding menyebut “Dia”. Bahkan, untuk menyatakan “Saya”
pun dia lebih suka menyebut namanya sendiri. Juga untuk menyebut
“Kamu” dia lebih suka menyebut nama lawan bicaranya.
Contohnya
seperti ini, misalkan ada seseorang yang bernama Agan sedang mengobrol
dengan seseorang yang bernama Aganwati . Agan disini adalah orang yang
enggan menggunakan kata ganti. Aganwati mengatakan pada Agan bahwa dia
akan memberitahukan sesuatu hal nanti. Maka Si Agan berujar:
“Entar Agan kabarin Aganwati lagi deh.”
Bagi kita yang tidak terbiasa, percakapan seperti ini akan terasa janggal. Bahkan kita pun mungkin agak canggung ketika menyebut nama diri sendiri ketika berbicara. Kita yang tidak seperti mereka lebih suka menggunakan kata ganti “Saya” ketika menunjuk diri sendiri.
Mereka yang memiliki kebiasaan seperti itu memang biasanya berjumlah sedikit alias minoritas. Kalangan seperti kita yang lebih suka menggunakan kata ganti biasanya menganggap mereka “kekanak-kanakan”. Salah satu dosen ketika menjelaskan adab berkomunikasi dengan seseorang yang dihormati mengatakan bahwa hal itu tidak sopan (relatif, tentu saja). Mungkin saja hal itu benar, karena kalau kita perhatikan, golongan yang masih menyebut nama diri ketika berbicara biasanya adalah anak-anak yang manja.
Bagaimanapun juga, kita harus tetap menghargai mereka dan tidak mengolok-olok karena itulah kebiasaan mereka. Toh, Kita juga akan sangat sulit untuk mengubah kebiasaan kita ketika berbicara. Jadi, bagi merekalah gaya bicara mereka, dan bagi kitalah gaya bicara kita.
“Entar Agan kabarin Aganwati lagi deh.”
Bagi kita yang tidak terbiasa, percakapan seperti ini akan terasa janggal. Bahkan kita pun mungkin agak canggung ketika menyebut nama diri sendiri ketika berbicara. Kita yang tidak seperti mereka lebih suka menggunakan kata ganti “Saya” ketika menunjuk diri sendiri.
Mereka yang memiliki kebiasaan seperti itu memang biasanya berjumlah sedikit alias minoritas. Kalangan seperti kita yang lebih suka menggunakan kata ganti biasanya menganggap mereka “kekanak-kanakan”. Salah satu dosen ketika menjelaskan adab berkomunikasi dengan seseorang yang dihormati mengatakan bahwa hal itu tidak sopan (relatif, tentu saja). Mungkin saja hal itu benar, karena kalau kita perhatikan, golongan yang masih menyebut nama diri ketika berbicara biasanya adalah anak-anak yang manja.
Bagaimanapun juga, kita harus tetap menghargai mereka dan tidak mengolok-olok karena itulah kebiasaan mereka. Toh, Kita juga akan sangat sulit untuk mengubah kebiasaan kita ketika berbicara. Jadi, bagi merekalah gaya bicara mereka, dan bagi kitalah gaya bicara kita.
Biasanya orang-orang seperti itu punya ciri khas. Contohnya :
Orang
yang perkembangan bahasa dan orientasinya belum sempurna. Contohnya,
anak kecil. Rani merengek sejadinya, “Rani takut, Pa, Rani takuuut ….”
Tapi perkembangan bahasa dan orientasi diri yang tidak sempurna bukan
monopoli anak kecil. Orang yang jauh dari peradaban sosial juga.
Orang
yang takut tidak terkenal, karakternya tidak kuat, dan merasa orang
lain takkan ingat namanya kalau nama itu tidak disebutkan bolak-balik.
“Anak rumahan kan emang suka nyebut nama, soalnya takut orang lupa ama
nama mereka,” komentar Nang Eddri Sumitra, novelis Rahasia Meede dan
Negara Kelima. Saya sepakat dengan Uda Eddri. Coba, seberapa kerap di TV
kita mendengar si Betty (ini cuma nama generik lho) mengucap, “Jangan
lupa dukung Betty ya malam grand final nanti.” Atau di radio, “Jangan
kemana-mana, pendengar. Betty akan kembali setelah pesan-pesan berikut
ini.” Padahal Betty ini kalau lagi tidak siaran ngomongnya ya tetap
pakai lu/gue.
Orang
manja atau egois. Jules César, kaisar Romawi terbesar, sering menyebut
namanya sendiri dalam percakapan. Barangkali untuk memperlebar jarak
dengan orang yang diajaknya bicara. Bahwa yang diajaknya bicara (bahkan
dirinya sendiri) lebih rendah dari karismanya. Atau mungkin juga si
César itu cuma seorang narsis. “Ini terkait dengan ego yang besar, dalam
artian individu itu terpaku dengan dirinya sendiri. Sedikit bocoran
nih, kalau orang melamar pekerjaan dan menyebut dirinya dengan namanya,
susah buat diterima! Soalnya pewawancara akan menganggap dia selfish,”
terang Pritha Khalida, co-writer sitkom The Coffee Bean Show yang
sekaligus Sarjana Psikologi.
Orang
yang canggung atau berusaha sopan. Ini terjadi, masih menurut Pritha,
salah satunya pada, “Seorang anak terhadap ortu atau orang yang umumnya
masih saudara tapi lebih dewasa. Ketimbang bilang ‘Mas, aku mau pergi’
biasanya lebih sering anak itu bilang ‘Mas, Desi mau pergi.’” Di sisi
berlawanan, saya juga menemukan orang dewasa yang canggung terhadap
lawan bicaranya yang di bawah umurnya (atau sebaya). Canggung untuk
mengamu-kamukan, maka kalimat yang dia pilih adalah, “Kalau Pipit sudah
laper, bilang aja, nanti saya bisa berhenti di restoran di sepanjang
perjalanan ini.” Yang ini kata ganti orang ketiga untuk mengganti orang
kedua (orang yang diajang ngomong). (uniqpost.com)sumber: http://lorongdunia.blogspot.com/2010/07/faktanya-orang-yang-suka-mengganti-kata.html