Setiap tahun, diperkirakan ada 2,5 juta nyawa tak berdosa melayang sia-sia akibat aborsi. Angka ini terhitung besar sebab jumlahnya separuh dari jumlah kelahiran di Indonesia, yaitu 5 juta kelahiran per tahun.
Di antara sekian juta pelaku aborsi, sebagian besar justru berasal dari kalangan remaja berusia 15 -24 tahun. Diduga, hal ini disebabkan karena kurangnya pendidikan seks dan sulitnya akses remaja mendapat alat kontrasepsi.
"Dari 2,5 jutaan pelaku aborsi tersebut, 1 - 1,5 juta di antaranya adalah remaja. Remaja sudah bisa aktif secara seksual, namun sulit memperoleh alat kontrasepsi. Akibatnya terjadi kehamilan yang tidak diinginkan," kata Sudibyo Alimoesa, Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) BKKBN saat dihubungi detikHealth, Rabu (30/5/2012).
Sudibyo menuturkan bahwa BKKBN sendiri tidak merekomendasikan pemberian alat kontrasepsi kepada remaja, namun menekankan pada pembinaan dari keluarga dan pendidikan seks di sekolah. Dengan memberikan pemahaman mengenai seks dan kesehatan reproduksi sejak dini akan membuat remaja menyadari risiko dari berhubungan seks sebelum menikah.
"Saat ini, remaja tidak cukup mendapat pemahaman yang baik mengenai seks dan alat kontrasepsi. Apabila ada anak yang menanyakan alat kontrasepsi kepada orangtuanya, maka dia di-judge jangan-jangan akan melakukan hubungan seksual," kata Sudibyo.
Selain remaja, aborsi juga bisa dilakukan oleh wanita menikah yang mengalami kehamilan tak diinginkan. Berdasarkan data BKKBN tahun 2011, ada sekitar 9% dari 45 juta juta pasangan menikah di Indonesia yang ingin mengikuti KB namun terkendala berbagai hal sehingga tidak mendapatkan alat kontrasepsi.
Kelompok yang tidak kesampaian mendapat alat kontrasepsi ini disebut unmeet need. Jika dihitung-hitung, jumlahnya sekitar 4,05 juta. Beberapa pasangan yang terlanjur hamil ini akhirnya memilih untuk melakukan aborsi.
"Data unmeet need di Indonesia yang diperoleh Australia's National University bahkan lebih besar lagi, yaitu 35%. Tingginya persentase ini disebabkan karena banyak remaja yang menginginkan alat kontrasepsi namun tidak disediakan oleh BKKBN," kata Sudibyo.
Besarnya persentase aborsi pada remaja tidak sepenuhnya diamini oleh beberapa pihak. Karena beberapa penelitian mengenai aborsi ini hanya melibatkan sejumlah kecil sampel di kota-kota besar di Indonesia, bisa jadi angkanya tidak sebesar yang dibayangkan.
"Saya rasa angka aborsi pada remaja tidak sampai sebesar itu. Sebagian besar kasus aborsi juga bisa disebabkan karena kegagalan kontrasepsi pada pasangan menikah. Pada remaja kasusnya mungkin hanya beberapa ratus ribu," kata Julianto Witjaksono, Deputi KB dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Pusat.
Data studi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) di 12 kota dari tahun 2000-2011 juga menunjukkan bahwa 73-83 persen wanita yang ingin aborsi adalah wanita menikah karena kegagalan kontrasepsi. Sedangkan aborsi pada remaja bahkan tidak sampai 20 persen.
Hal ini yang disayangkan Inne, karena menurutnya yang berkeinginan untuk terminasi atau aborsi justru kebanyakan adalah ibu-ibu menikah yang merasa tidak siap untuk memiliki anak lagi.
Pada kenyataannya, jika membahas soal aborsi remaja selalu saja disalahkan dan dibelokkan seolah-olah hanya dilakukan karena perilaku seks bebas.
"Menurut hasil studi kami, remaja bahkan tidak sampai 20 persen, tapi selalu dibelokkan dan disudutkan seolah-olah hanya remaja. Bukan mau membela tetapi kenyataannya memang kebanyakan adalah wanita menikah," lanjut Inne.
detikhealth