Pemutaran film Harry Potter di
Indonesia pada akhir Juli 2011 menandai masuknya kembali sejumlah film
box office Hollywood di bioskop Tanah Air. Indonesia masih jadi ladang
potensial bagi film-film asal Amerika Serikat ini.
Tak hanya Harry Potter bagian
akhir yang tayang, film box office lainnya seperti Transformers 3 sudah
tayang, menyusul Kung Fu Panda 2.
Sebelumnya kisruh soal film
impor membuat film Hollywood berhenti tayang di bioskop sejak Februari
lalu. Hal itu berimbas pada merosotnya penghasilan pemerintah dari pajak
tontonan.
"Sebagai contoh, pada bulan
pertama 2011, pendapatan dari pajak tontonan untuk wilayah DKI Jakarta
tercatat Rp3,9 miliar. Sementara pada Juni 2011 turun ke angka Rp1,8
miliar. Berarti terjadi penurunan lebih dari 50%," papar Ketua Umum
Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Johny Syafrudin,
dalam sebuah kesempatan.
Merosotnya penghasilan dari
pajak tontonan ini karena menurunnya gairah penonton bioskop di Tanah
Air. Ini sejak MPAA (Motion Pictures Association of America)
menghentikan impor film pada Februari 2011.
Penurunan gairah penonton film
untuk datang ke bioskop karena ketiadaan film-film Hollywood sudah
diperkirakan oleh sutradara muda Hanung Bramantyo. Bahkan saat itu ia
memprediksi industri perfilman Tanah Air akan mati.
"Jaringan 21 akan mati karena pendapatan yang mereka dapat 60% berasal dari penayangan film-film asing," katanya.
Memang tak sedikit pula kalangan
perfilman Indonesia melihat ketiadaan film Hollywood saat itu sebagai
peluang emas untuk menjadikan film Indonesia laris manis di negerinya
sendiri. Namun, ternyata dalam masa vakum tersebut tidak muncul film
Indonesia yang fenomenal dalam menarik penonton potensial untuk datang
ke bioskop.
Keberadaan film lokal Indonesia
memang masih didominasi oleh genre horor yang tak jarang berkonten
seksual. Namun kehadiran setan, pocong, kuntilanak, paha-paha mulus
artis papan atas Indonesia tak berkutik menghadapi pasar bioskop yang
lesu akibat ketiadaan film Hollywood.
Meski para bintang utamanya
sudah tampil maksimal, sehingga akting jambak-jambakannya berujung di
ruang Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Bahkan ada produser yang
menggunakan 'senjata' dengan 13 Cara Memang Setan, namun statement
keberhasilan film itu hanya berasal dari produsernya saja.
Industri film Indonesia memang
berbeda dengan industri film Hollywood. Industri film Indonesia terbagi
dua besar antara sineas yang berpikir menggeruk keuntungan dengan karya
murahan, dan sineas idealis yang merasa bangga minta ampun karena
filmnya hanya berhasil di sejumlah festival film. Hanya sedikit sineas
yang berusaha memadukan unsur idealisme dengan komersialisme.
Sementara film-film Hollywood
betul-betul berorientasi pada sisi komersial, karena mengandalkan
teknologi canggih dan finansial besar, yang tentu saja selain harus
balik modal juga harus memenuhi margin yang diharapkan.
Harusnya, merebaknya kembali
film box office Hollywood di Indonesia, membuat para sineas idealis
berpikir bahwa filmnya juga bisa mendominasi sejumlah festival film
dunia, sekaligus bisa merebut hati mayarakat Indonesia.
Kedengarannya basi, tetapi lebih baik menaruh harapan positif daripada melihat film-film Indonesia mati berdiri.
sumber : http://artis.inilah.com/read/detail/1762467/setan-pun-tak-bergairah-tanpa-film-hollywood