Meski berlokasi di pusat keramaian Surabaya, namun tempat lokalisasi gang Dolly bukan didirikan oleh warga pribumi. Melainkan oleh perempuan keturunan Belanda, Dolly van der mart.
Belum diketahui pasti kapan berdirinya, namun setidaknya keberadaan gang Dolly sudah ratusan tahun.
Awal pendiriannya, tante Dolly, sapaan akrab Dolly waktu itu, hanya menyediakan beberapa gadis untuk menjadi pekerja seks komersial. Melayani dan memuaskan syahwat para tentara Belanda.
Seiring berjalannya waktu, ternyata pelayanan para gadis asuhan tante Dolly tersebut mampu menarik perhatian para tentara untuk datang kembali.
Dalam perkembangannya, gang Dolly semakin dikenal masyakarat luas. Tidak hanya prajurit Belanda saja yang berkunjung, namun warga pribumi dan saudagar yang berdagang di Surabaya juga ikut menikmati layanan PSK. Sehingga kondisi tersebut berpengaruh kepada kuantitas pengunjung dan jumlah PSK.
Keluarga tante Dolly hingga sekarang masih tinggal di kawasan Dolly. Namun, karena suatu alasan tidak lagi mengelola bisnis jual beli 'daging mentah' tersebut.
Kini Dolly merupakan prostitusi terbesar di asia tenggara, mengalahkan Phat Pong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura.
Dolly juga menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi penduduk disana. Terdapat lebih dari 800 wisma esek-esek, kafe Dangdut dan panti pijat plus yang berjejer rapi.
Setidaknya setiap malam sekitar 9.000 lebih penjaja cinta, Pelacur dibawah umur, Germo, ahli pijat siap menawarkan layanan kenikmatan kepada para pengunjung.
Tidak hanya itu, Dolly juga menjadi tumpuan hidup bagi ribuan pedagang kaki lima, tukang parkir, dan calo Prostitusi. Semua saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme.
Pemerintah Jawa Timur berniat mengubah lokalisasi Dolly menjadi pusat perdagangan tahun 2014 nanti. Mereka telah melakukan sejumlah langkah. Bisakah impian Pemprov tersebut berjalan?