Pages

Peristiwa Pembantaian Tiananmen

Share and Enjoy! :

Lima belas tahun yang lalu, sebuah tragedi kemanusiaan terjadi di negeri China. Puluhan ribu mahasiswa yang menuntut demokratisasi di lapangan Tiananmen ditindak represif, sejumlah tank pasukan Tentara Merah menggilas mereka, ribuan mahasiswa tersungkur dan tewas berlumuran darah. Ribuan mahasiswa ditangkap dijebloskan ke penjara, ratusan lainnya hilang entah ke mana. Sampai sekarang para aktivis mahasiswa masih banyak yang berada di penjara, dan mereka yang berhasil melarikan diri terus memperjuangkan demokrasi di negeri itu.

Peristiwa Tiananmen yang terjadi pada 4 Juni 1989 adalah sejarah kelam pemerintahan komunis China setelah Revolusi Kebudayaan. Meskipun sudah lima belas tahun berlalu, dosa sejarah ini sepertinya terus membayangi. Seminggu menjelang tanggal 4 Juni, pemerintah China sudah sibuk mengamankan lapangan Tiananmen, pasukan Tentara Merah dalam posisi siaga berjaga-jaga di sekitar lapangan itu. Siapa pun yang mempersoalkan kembali tragedi berdarah itu ditindak. Para wisatawan yang mengambil gambar juga dipaksa untuk menghapus dari kameranya. Seorang fotografer dari Assosiated Press sempat ditangkap ketika mengambil gambar di lokasi pembantaian mahasiswa itu.
Tindakan pengawasan terhadap para aktivis demokrasi lebih diperkeras dari tahun-tahun sebelumnya, dalam seminggu sejumlah aktivis yang gigih memperjuangkan agar tragedi Tiananmen diusut, ditangkap. Jiang Chanyong, seorang dokter yang pernah menulis surat mempersoalkan peristiwa Tiananmen, diciduk bersama istri dari kediamannya. Wang Guoqi, seorang dokter diamankan ke sebuah hotel di Kota Dalian, 450 kilometer dari Beijing. Demikian pula Zhang Chunzu, seorang aktivis buruh juga diamankan di Beijing.
Meskipun peringatan tragedi berdarah di Tiananmen tidak bisa dilangsungkan di China karena tekanan politik yang kuat, perayaan justru berlangsung di beberapa negara. Puluhan ribu orang di Hongkong mengikuti acara penyalaan lilin bersama di lapangan Victoria, Jumat (4/6) mengutuk tragedi Tiananmen. Begitu juga di Taiwan dan Amerika. Liu Junghuo, salah seorang mantan demonstran yang kini menetap di Washington, melakukan aksi keprihatinan di depan Kedutaan China sejak Kamis (3/6). Para aktivis demokrasi dari sejumlah negara Asia termasuk dari Indonesia yang tergabung dalam The Asian Federation Against Involuntary Disappearances (AFAD) juga merayakan tragedi itu di Filipina.
Pada saat yang sama, Amnesty International yang bermarkas di London juga menyerukan agar pemerintah China melakukan penyelidikan yang independen atas pembantaian berdarah terhadap aktivis prodemokrasi itu. Selain itu, mereka meminta pemerintah China membebaskan seluruh tahanan yang terkait dengan Tiananmen yang tidak mendapatkan pengadilan yang adil. Menurut Amnesty, ada sekitar 50 orang yang masih ditahan dan dipenjara di China. Sedangkan sikap AS melalui Kongres AS, mengeluarkan resolusi yang mengutuk tindakan brutal terhadap para mahasiswa di lapangan Tiananmen dan menuntut pemerintah China membebaskan para pemimpin prodemokrasi dari penjara.
Masih kerasnya reaksi penguasa China terhadap gerakan demokrasi, bagaimanapun menunjukkan komitmen “pemerintahan baru” di bawah Presiden Hu Jintao dan PM Wen Jiabao terhadap demokrasi. Seperti diketahui, pejabat yang terkait peristiwa 4 Juni kini tinggal Jiang Zemin dan Li Peng. Dua tokoh ini memang yang diuntungkan dengan insiden berdarah ini, minimal mereka telah berkuasa selama 10 tahun lebih, bahkan saat ini Jiang masih mengendalikan militer. Dasar kekuasaan mereka, semuanya dibangun lewat peristiwa ini. Karena itu, sama sekali tidak mungkin bagi mereka untuk merehabilitasi tragedi itu. Setelah Li Peng mundur, satu-satunya pejabat yang berhubungan dengan kasus ini tinggal Jiang. Dan jika “PR” ini masih menggantung, pasti sedang dipertahankan oleh Jiang.
Dengan demikian, peringatan peristiwa Tiananmen telah memusingkan pemerintah Hu Jintao dan Wen Jiabao. Di satu sisi, mereka ingin mengakomodir tuntutan gerakan prodemokrasi seperti rehabilitasi peristiwa 4 Juni, membersihkan pejabat-pejabat yang korup, penegakan HAM dan lain-lain. Di sisi lain, elite partai yang masih tunduk kepada Jiang Zemin berusaha mempertahankan status quo. Dalam kasus korupsi, mereka juga berusaha mengganjalnya karena akan menyeret Jiang yang banyak menyalahgunakan uang negara.
Suasana Kongres Nasional Rakyat China, awal Maret lalu yang adem ayem, tanpa perdebatan yang serius, tanpa mempersoalkan kasus-kasus pelanggaran HAM di dalam negeri, barangkali bisa dijadikan indikasi masih dominannya kubu Jiang Zemin. Kubu Hu Jintao dan Wen Jiabao masih belum mampu menghadapi tekanan kuat mereka. Hu sulit memperlihatkan sikapnya berkaitan dengan posisi Jiang yang tetap menjabat ketua Komisi Militer Pusat, suatu kekuasaan tertinggi di China yang membawahi 2,5 juta tentara, yang menjamin keberlanjutan pengaruhnya dalam pengambilan keputusan penting di pemerintahan.
Komentator politik senior Hongkong, Lin Heli mengatakan, bahwa suhu politik di Beijing saat ini masih sangat tegang, kekuasaan atas pemerintahan baru pimpinan Hu dan Wen masih sangat jauh dan belum kokoh, mereka saat ini tidak mungkin menyentuh peristiwa 4 Juni yang sensitif itu.
Ketidakmampuan Hu Jiantao dalam menghadapi kekuatan status quo juga tampak dalam kasus Falun Gong. Sejak 20 Juli 1999 sampai sekarang, penindasan terhadap Falun Gong masih berlangsung, lebih dari 950 orang tewas akibat penyiksaan oleh petugas Kantor 610. Meskipun Jiang Zemin dituntut di sejumlah pengadilan di mancanegara, serta dikecam oleh beberapa lembaga HAM internasional dan PBB, masalah ini belum mendapat perhatian serius di Zhong Nanhai —pusat pemerintahan China. Dengan demikian, demokrasi di negeri Tirai Bambu itu kelihatannya masih jauh dari yang diharapkan.