Dikutip dari blognya Verdi.
Selamat pagi, siang, sore, malam para pembaca blogs setia. setelah dalam beberapa tulisan, saya banyak membuat seputar teori kepribadian dari berbagai tokoh, maka kali ini saya mencoba menyajikan sebuah tulisan yang saya buat mengenai pernikahan dan permasalahnnya. Tulisan ini saya ambil dari salah satu tugas dalam menangani kasus seorang klien yang di poligami oleh suaminya.Setelah tulisan ini selesai, saya berpikir "kenapa tidak saya post di verdi's journals?". alasannya adalah karena apabila berbicara pernikahan dan permasalahannya tentu tidak akan ada habisnya- karena pasti dialami oleh semua pasangan yang telah menikah - apalagi bila berbicara mengenai poligami.
Sampai detik ini, poligami masih menjadi perdebatan panjang, dengan pihak pro dan pihak kontra sama kuat dan "ngotot" dalam mempertahankan pendapat. tulisan ini tidak bermaksud untuk memihak pihak manapun namun lebih mencoba menyoroti masalah-masalah pernikahan (termasuk di dalamnya poligami - bila anda sepakat dengan saya bahwa hal tersebut termasuk potensi menjadi masalah pernikahan ), dampaknya, dan cara seseorang (istri?) atau biasa disebut coping untuk menghadapinya.
Saya mengambil teori coping pada perselingkuhan karena di dunia barat poligami tidak begitu populer sehingga saya kesulitan menemukan teoeri coping pada masalah poligami. Mengapa perselingkuhan? karena Coping yang saya berikan di sini adalah dalam kasus apabila seorang suami berpoligami dengan di awali sebuah hubungan dengan perempuan lain tanpa sepengetahuan istrinya.
Semoga tulisan ini cukup netral untuk menyoroti masalah-masalah yang disebutkan di atas dari sudut pandang psikologi. Selamat menikmati dan jangan segan memberikan komentar.
TULISAN ITU :
I. Pernikahan
a. Definisi Pernikahan
Apabila berbicara mengenai pernikahan maka akan dapat ditemukan banyak definisi mengenainya. Misalnya yang dikemukakan oleh Duvall dan Miller (1985) bahwa pernikahan adalah :
“Marriage can be most accurately defined as the socially recognized relationship between a man and a woman that provides for sexual relations, legitimizes childbearing and establish a division of labor between spouses.” (Duvall & Miller, 1985 hal. 6).
Sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan dikemukakan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam Ariyani, 2004). Dari kedua definisi di atas maka penulis menyimpulkan bahwa pernikahan adalah hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan tujuan membentuk rumah tangga, yang diakui secara sosial. Selain itu, pernikahan itu membentuk adanya pembagian peran yang jelas antara suami dan istri sehingga pernikahan tersebut diharapkan dapat bahagia dan berlangsung selamanya.
b. Masalah-masalah pada Pernikahan
Pada umumnya terdapat berbagai permasalahan selama suatu pernikahan berjalan. Dalam pernikahan, umumnya pasangan menyadari bahwa mereka harus melakukan penyesuaian diri agar dapat hidup bersama secara harmonis. Hal ini menunjukkan pentingnya proses penyesuaian diri dalam pernikahan. Adapun masalah dalam penyesuaian pernikahan meliputi kepuasan dalam pernikahan yang berkaitan dengan interaksi suami-istri, sehingga kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing dapat diketahui, dihormati, dan dipuaskan. Harapan yang tidak realistis dapat menimbulkan masalah dalam suatu hubungan. Masalah-masalah tersebut antara lain berkaitan dengan :
1. Pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga
2. Komunikasi dan konflik
3. Kehidupan seksual
Dalam kehidupan rumah tangga, terdapat pembagian tanggung jawab di antara pasangan. Isu yang terkait dengan hal tersebut adalah pembagian tanggung jawab yang dipersepsikan secara adil oleh masing-masing pasangan. Sementara itu, masalah-masalah yang terkait dengan komunikasi dan konflik antara lain yaitu hambatan dalam mengkomunikasikan perasaan yang mendalam, harapan, keinginan, dan kebutuhan pribadi. Hal ini didukung salah satu hasil penelitian tersebut yang menjelaskan mengenai beberapa area kesulitan penyesuaian yang umumnya muncul dalam pernikahan. Salah satu area tersebut adalah komunikasi. Komunikasi yang efektif penting bagi keberhasilan pernikahan. Hasil penelitian juga mengidentifikasi area dari fungsi pernikahan yang membedakan antara pasangan yang merasa puas dan tidak puas.
Dari tiga area fungsi terpenting, dua di antaranya melibatkan komunikasi, yaitu kenyamanan pasangan dalam membagi informasi satu sama lain dan kemauan mereka untuk mengenali dan menyelesaikan konflik di antara mereka. Area yang ketiga adalah kualitas hubungan seksual mereka.
Sejumlah penelitian telah membandingkan pola komunikasi pada pernikahan yang bahagia dan tidak bahagia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasangan yang tidak bahagia terjadi hal-hal berikut ini:
1. Mengalami kesulitan dalam menyampaikan pesan positif
2. Lebih sering mengalami kesalahpahaman satu sama lain
3. Kurang menyadari bahwa mereka telah salah paham
4. Lebih sering dan lebih intens dalam menggunakan pesan negatif
5. Sering kali berbeda dalam menginginkan seberapa erat kedekatan (self-disclosure) dalam hubungan (Noller & Fitzpatrick; Noller & Gallois; Sher & Baucom, dalam Weiten & Lloyd, 1997).
Apabila masalah-masalah tersebut tidak terselesaikan dengan baik maka dapat berakibat suatu hubungan pernikahan. Ada beberapa cara suatu pernikahan dapat berakhir. Salah satunya adalah dengan annulment, yaitu berahirnya pernikahan secara legal, misalnya dengan salah satu pasangan menikah lagi (bigamy). Di Indonesia, bigamy lebih dikenal dengan istilah poligami, dan tidak ditandai dengan berakhirnya pernikahan terdahulu.
II. Poligami
a. Pengertian Poligami
Poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat. Hal ini berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat. Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Pada saat ini, masyarakat secara umum lebih mengenal poligami sebagai pernikahan satu suami dengan beberapa istri. Hal ini sejalan dengan Dacey dan Travers (dalam Ariyani, 2004) yang tidak lagi menggunakan istilah poligini dalam pembagian tipe pernikahan yang mereka ajukan namun menggunakan istilah poligami.
Apabila dipandang dari sudut pandang agama maka tidak semua agama memperbolehkan praktik poligami. Salah satu agama yang melegalkan pernikahan poligami adalah agama Islam. Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya Hal tersebut tertuang dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 3.
b. Dampak Poligami
Agama Islam, sebagai salah satu agama yang mengizinkan praktek poligami, memberikan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi bagi seorang pria apabila mau melakukan poligami. Salah satu ketentuan yang tertuang dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 129 adalah pria tersebut harus dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Ketentuan ini untuk menghindari dampak negatif dari poligami, baik untuk sang pria maupun pihak perempuan.
Dari beberapa penelitian telah ditemukan bahwa praktek poligami memang menghasilkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Salah satunya seperti yang disebutkan oleh Shalala (dalam Ariyani, 2004) bahwa poligami akan lebih banyak menghasilkan keuntungan pada pihak laki-laki dibandingkan pada perempuan. Salah satunya adalah dapat meningkatkan prestise di hadapan masyarakat karena mempunyai banyak istri. Sedangkan pihak istri lebih sering mendapatkan dampak negatif dari pernikahan poligami. Beberapa kerugian bagi pihak perempuan disebutkan oleh Shalala (dalam Ariyani, 2004) adalah bagi para istri yang tinggal serumah dapat kehilangan privasi masing-masing.
Selain itu mereka juga harus berbagi wilayah domestik yang biasanya dipahami sebagai ranah perempuan, seperti dapur. Adapun bagi para istri yang tinggal di tempat yang berbeda dapat menyebabkan tekanan-tekanan kepribadian, seperti cemburu, konflik kepribadian, kompetisi, dan ketidaksenangan anak terhadap ibu yang berbeda. Jones (dalam Ariyani, 2004) menambahkan melalui hasil penelitiannya pada perempuan Suku Sasak di Lombok bahwa poligami mengakibatkan hal-hal seperti mimpi buruk, kepasrahan akan nasib, pertengkaran antar istri, perasaan dikhianati oleh suami, bunuh diri, dan bahkan menjadi gila.
Beberapa dampak dari poligami terhadap seorang istri sebagai berikut :
a. Dampak psikologis
Perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suami berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suami.
b. Dampak ekonomi rumah tangga
Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam prakteknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
c. Dampak hukum
Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (pernikahan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga pernikahan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun pernikahan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu pernikahan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
d. Dampak kesehatan
Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami atau istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
e. Kekerasan terhadap perempuan,
Baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.
Sedangkan Jamruhi (2006) menyebutkan beberapa pengaruh negatif poligami terhadap istri sebagai berikut :
a. Timbulnya rasa dengki dan permusuhan di antara para istri. Perasaan ini biasanya timbul karena suami lebih mencintai satu istri dbandingkan dengan istri yang lain atau karena kurang adanya keadilan. Akan tetapi hal ini jarang terjadi apabila suami dan istri mengerti mengenai hak dan kewajibannya.
b. Perasaan di atas juga bisasnya terwarisi kepada anak-anak dari masing-masing istri sehingga tidak mempunyai rasa persaudaraan.
c. Timbulnya tekanan batin pada istri pertama karena biasanya suami akan lebih mencintai istri barunya. Perasaan ini mengakibatkan istri pertama merasa kurang bahagia dalam hidupnya.
III. Coping pada Masalah Pernikahan (Perselingkuhan)
Dr Elisabeth Ross (dalam Subotnik dan Harris, 2005) mengidentifikasikan lima tahap coping pada seseorang yang pasangannya melakukan perselingkuhan pada suatu hubungan. Menurutnya, tidak semua orang melewati tahap-tahap ini dan tidak harus berurutan. Tahap-tahap tersebut adalah :
1. Denial (penyangkalan)
Penyangkalan merupakan reaksi yang sama yang dirasakan orang yang kehilangan dalam bentuk lain, seperti kematian. Reaksi awal saat mengetahui bahwa pasangan anda telah tidak jujur adalah tidak percaya. Salah satu cara yang dilakukan oleh seseorang dalam melindungi atau mengurangi rasa sakit hati.
2. Anger
Setelah tahap denial, pasangan yang dikhianati biasanya mengalami ledakan kemarahan.pada tahap ini, beberapa orang menunjukkannya dengan teriakan atau tangisan, sedangkan yang lainnya ingin melakukan balas dendam. Jika anda bisa mengetahui rasa marah anda dan bisa mengekspresikannya dengan cara yang aman, maka anda sedang menuju jalan yang benar untuk mengatasi rasa sedih.
3. Bargaining
Setelah tahap marah, dimulailah tahap bargaining. Saat anda menghadapi fakta bahwa pernikahan anda menghadapi krisis, anda mungkin saja mulai melakukan bargaining. Contohnya, ”saya berjanji akan lebih perhatian”, ”aku akan lebih mencinta dia”. Pada tahap ini, anda mungkin akan merasa sakit dan ketakutan akan kehilangan hubungan yang telah terjalin sehingga membuat anda tidak dapat berpikir secara rasional.
4. Depression
Pada tahap ini, anda akan kehilangan minat pada dunia luar, sulit berkonsentrasi, selera makan yang tidak terkontrol, menjadi seorang yang pelupa, dan bingung. Depresi dapat juga diekspresikan dalam bentuk tangisan terus-menerus.
5. Acceptance
Tahap terakhir, acceptance, dibutuhkan agar anda dapat bergerak maju. Ada dua tipe acceptance, yaitu intelektual (muncul lebih dahulu) dan emosional (muncul berikutnya). Intelektual artinya memahami apa yang telah terjadi, sedangkan emosional artinya anda dapat berdiskusi dengan pasangan mengenai perselingkuhan yang dilakukan tanpa memberikan reaksi pada tahap-tahap sebelumnya. Pada kasus kebanyakan, setelah waktu yang lama, kebanyakan orang dapat mengintegrasikan kedua tipe acceptance tersebut dalam menghadapi masalah mereka.
Sumber :
Ariyani, Mira. (2004). Faktor yang Berperan dan Proses yang Terjadi Dalam Keputusan
Perempuan Dewasa Untuk Menjadi Istri Kedua Pada Pernikahan Poiligami. Skripsi Sarjana. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
De De Genova, Mary Kay & Rice, F. Philip. (2005). Intimate relationships, marriages and families. 6th edition. New York: McGraw-Hill.
Duvall, Evelyn M. & Miller, Brent C. (1985). Marriage and Family Development (6th Ed.). New York: Harper & Row Publishers.
Green, Ernest J. (1978). Personal relationships: An approach to marriage and family. USA: McGraw-Hill Book Company.
Subotnik, Rona B., Harris, Gloria G. (2005) Surviving Infidelity : Making decision, recovering from the pain (3rd edition). Canada : Adams Media
Weiten, W. & Lloyd, M.A. (1997). Psychology applied to modern life: Adjustment in the 90s (5th ed). USA: Brooks / Cole Publishing Company.
http://id.wikipedia.org/wiki/Poligami
http://www.pks-kotatangerang.or.id
Selamat pagi, siang, sore, malam para pembaca blogs setia. setelah dalam beberapa tulisan, saya banyak membuat seputar teori kepribadian dari berbagai tokoh, maka kali ini saya mencoba menyajikan sebuah tulisan yang saya buat mengenai pernikahan dan permasalahnnya. Tulisan ini saya ambil dari salah satu tugas dalam menangani kasus seorang klien yang di poligami oleh suaminya.Setelah tulisan ini selesai, saya berpikir "kenapa tidak saya post di verdi's journals?". alasannya adalah karena apabila berbicara pernikahan dan permasalahannya tentu tidak akan ada habisnya- karena pasti dialami oleh semua pasangan yang telah menikah - apalagi bila berbicara mengenai poligami.
Sampai detik ini, poligami masih menjadi perdebatan panjang, dengan pihak pro dan pihak kontra sama kuat dan "ngotot" dalam mempertahankan pendapat. tulisan ini tidak bermaksud untuk memihak pihak manapun namun lebih mencoba menyoroti masalah-masalah pernikahan (termasuk di dalamnya poligami - bila anda sepakat dengan saya bahwa hal tersebut termasuk potensi menjadi masalah pernikahan ), dampaknya, dan cara seseorang (istri?) atau biasa disebut coping untuk menghadapinya.
Saya mengambil teori coping pada perselingkuhan karena di dunia barat poligami tidak begitu populer sehingga saya kesulitan menemukan teoeri coping pada masalah poligami. Mengapa perselingkuhan? karena Coping yang saya berikan di sini adalah dalam kasus apabila seorang suami berpoligami dengan di awali sebuah hubungan dengan perempuan lain tanpa sepengetahuan istrinya.
Semoga tulisan ini cukup netral untuk menyoroti masalah-masalah yang disebutkan di atas dari sudut pandang psikologi. Selamat menikmati dan jangan segan memberikan komentar.
TULISAN ITU :
I. Pernikahan
a. Definisi Pernikahan
Apabila berbicara mengenai pernikahan maka akan dapat ditemukan banyak definisi mengenainya. Misalnya yang dikemukakan oleh Duvall dan Miller (1985) bahwa pernikahan adalah :
“Marriage can be most accurately defined as the socially recognized relationship between a man and a woman that provides for sexual relations, legitimizes childbearing and establish a division of labor between spouses.” (Duvall & Miller, 1985 hal. 6).
Sedangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan dikemukakan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (dalam Ariyani, 2004). Dari kedua definisi di atas maka penulis menyimpulkan bahwa pernikahan adalah hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dengan tujuan membentuk rumah tangga, yang diakui secara sosial. Selain itu, pernikahan itu membentuk adanya pembagian peran yang jelas antara suami dan istri sehingga pernikahan tersebut diharapkan dapat bahagia dan berlangsung selamanya.
b. Masalah-masalah pada Pernikahan
Pada umumnya terdapat berbagai permasalahan selama suatu pernikahan berjalan. Dalam pernikahan, umumnya pasangan menyadari bahwa mereka harus melakukan penyesuaian diri agar dapat hidup bersama secara harmonis. Hal ini menunjukkan pentingnya proses penyesuaian diri dalam pernikahan. Adapun masalah dalam penyesuaian pernikahan meliputi kepuasan dalam pernikahan yang berkaitan dengan interaksi suami-istri, sehingga kebutuhan, keinginan, dan harapan masing-masing dapat diketahui, dihormati, dan dipuaskan. Harapan yang tidak realistis dapat menimbulkan masalah dalam suatu hubungan. Masalah-masalah tersebut antara lain berkaitan dengan :
1. Pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga
2. Komunikasi dan konflik
3. Kehidupan seksual
Dalam kehidupan rumah tangga, terdapat pembagian tanggung jawab di antara pasangan. Isu yang terkait dengan hal tersebut adalah pembagian tanggung jawab yang dipersepsikan secara adil oleh masing-masing pasangan. Sementara itu, masalah-masalah yang terkait dengan komunikasi dan konflik antara lain yaitu hambatan dalam mengkomunikasikan perasaan yang mendalam, harapan, keinginan, dan kebutuhan pribadi. Hal ini didukung salah satu hasil penelitian tersebut yang menjelaskan mengenai beberapa area kesulitan penyesuaian yang umumnya muncul dalam pernikahan. Salah satu area tersebut adalah komunikasi. Komunikasi yang efektif penting bagi keberhasilan pernikahan. Hasil penelitian juga mengidentifikasi area dari fungsi pernikahan yang membedakan antara pasangan yang merasa puas dan tidak puas.
Dari tiga area fungsi terpenting, dua di antaranya melibatkan komunikasi, yaitu kenyamanan pasangan dalam membagi informasi satu sama lain dan kemauan mereka untuk mengenali dan menyelesaikan konflik di antara mereka. Area yang ketiga adalah kualitas hubungan seksual mereka.
Sejumlah penelitian telah membandingkan pola komunikasi pada pernikahan yang bahagia dan tidak bahagia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasangan yang tidak bahagia terjadi hal-hal berikut ini:
1. Mengalami kesulitan dalam menyampaikan pesan positif
2. Lebih sering mengalami kesalahpahaman satu sama lain
3. Kurang menyadari bahwa mereka telah salah paham
4. Lebih sering dan lebih intens dalam menggunakan pesan negatif
5. Sering kali berbeda dalam menginginkan seberapa erat kedekatan (self-disclosure) dalam hubungan (Noller & Fitzpatrick; Noller & Gallois; Sher & Baucom, dalam Weiten & Lloyd, 1997).
Apabila masalah-masalah tersebut tidak terselesaikan dengan baik maka dapat berakibat suatu hubungan pernikahan. Ada beberapa cara suatu pernikahan dapat berakhir. Salah satunya adalah dengan annulment, yaitu berahirnya pernikahan secara legal, misalnya dengan salah satu pasangan menikah lagi (bigamy). Di Indonesia, bigamy lebih dikenal dengan istilah poligami, dan tidak ditandai dengan berakhirnya pernikahan terdahulu.
II. Poligami
a. Pengertian Poligami
Poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat. Hal ini berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat. Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Pada saat ini, masyarakat secara umum lebih mengenal poligami sebagai pernikahan satu suami dengan beberapa istri. Hal ini sejalan dengan Dacey dan Travers (dalam Ariyani, 2004) yang tidak lagi menggunakan istilah poligini dalam pembagian tipe pernikahan yang mereka ajukan namun menggunakan istilah poligami.
Apabila dipandang dari sudut pandang agama maka tidak semua agama memperbolehkan praktik poligami. Salah satu agama yang melegalkan pernikahan poligami adalah agama Islam. Islam memperbolehkan seorang pria beristri hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil terhadap seluruh istrinya Hal tersebut tertuang dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 3.
b. Dampak Poligami
Agama Islam, sebagai salah satu agama yang mengizinkan praktek poligami, memberikan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi bagi seorang pria apabila mau melakukan poligami. Salah satu ketentuan yang tertuang dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 129 adalah pria tersebut harus dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Ketentuan ini untuk menghindari dampak negatif dari poligami, baik untuk sang pria maupun pihak perempuan.
Dari beberapa penelitian telah ditemukan bahwa praktek poligami memang menghasilkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Salah satunya seperti yang disebutkan oleh Shalala (dalam Ariyani, 2004) bahwa poligami akan lebih banyak menghasilkan keuntungan pada pihak laki-laki dibandingkan pada perempuan. Salah satunya adalah dapat meningkatkan prestise di hadapan masyarakat karena mempunyai banyak istri. Sedangkan pihak istri lebih sering mendapatkan dampak negatif dari pernikahan poligami. Beberapa kerugian bagi pihak perempuan disebutkan oleh Shalala (dalam Ariyani, 2004) adalah bagi para istri yang tinggal serumah dapat kehilangan privasi masing-masing.
Selain itu mereka juga harus berbagi wilayah domestik yang biasanya dipahami sebagai ranah perempuan, seperti dapur. Adapun bagi para istri yang tinggal di tempat yang berbeda dapat menyebabkan tekanan-tekanan kepribadian, seperti cemburu, konflik kepribadian, kompetisi, dan ketidaksenangan anak terhadap ibu yang berbeda. Jones (dalam Ariyani, 2004) menambahkan melalui hasil penelitiannya pada perempuan Suku Sasak di Lombok bahwa poligami mengakibatkan hal-hal seperti mimpi buruk, kepasrahan akan nasib, pertengkaran antar istri, perasaan dikhianati oleh suami, bunuh diri, dan bahkan menjadi gila.
Beberapa dampak dari poligami terhadap seorang istri sebagai berikut :
a. Dampak psikologis
Perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suami berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suami.
b. Dampak ekonomi rumah tangga
Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam prakteknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
c. Dampak hukum
Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (pernikahan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga pernikahan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun pernikahan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu pernikahan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
d. Dampak kesehatan
Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami atau istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
e. Kekerasan terhadap perempuan,
Baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.
Sedangkan Jamruhi (2006) menyebutkan beberapa pengaruh negatif poligami terhadap istri sebagai berikut :
a. Timbulnya rasa dengki dan permusuhan di antara para istri. Perasaan ini biasanya timbul karena suami lebih mencintai satu istri dbandingkan dengan istri yang lain atau karena kurang adanya keadilan. Akan tetapi hal ini jarang terjadi apabila suami dan istri mengerti mengenai hak dan kewajibannya.
b. Perasaan di atas juga bisasnya terwarisi kepada anak-anak dari masing-masing istri sehingga tidak mempunyai rasa persaudaraan.
c. Timbulnya tekanan batin pada istri pertama karena biasanya suami akan lebih mencintai istri barunya. Perasaan ini mengakibatkan istri pertama merasa kurang bahagia dalam hidupnya.
III. Coping pada Masalah Pernikahan (Perselingkuhan)
Dr Elisabeth Ross (dalam Subotnik dan Harris, 2005) mengidentifikasikan lima tahap coping pada seseorang yang pasangannya melakukan perselingkuhan pada suatu hubungan. Menurutnya, tidak semua orang melewati tahap-tahap ini dan tidak harus berurutan. Tahap-tahap tersebut adalah :
1. Denial (penyangkalan)
Penyangkalan merupakan reaksi yang sama yang dirasakan orang yang kehilangan dalam bentuk lain, seperti kematian. Reaksi awal saat mengetahui bahwa pasangan anda telah tidak jujur adalah tidak percaya. Salah satu cara yang dilakukan oleh seseorang dalam melindungi atau mengurangi rasa sakit hati.
2. Anger
Setelah tahap denial, pasangan yang dikhianati biasanya mengalami ledakan kemarahan.pada tahap ini, beberapa orang menunjukkannya dengan teriakan atau tangisan, sedangkan yang lainnya ingin melakukan balas dendam. Jika anda bisa mengetahui rasa marah anda dan bisa mengekspresikannya dengan cara yang aman, maka anda sedang menuju jalan yang benar untuk mengatasi rasa sedih.
3. Bargaining
Setelah tahap marah, dimulailah tahap bargaining. Saat anda menghadapi fakta bahwa pernikahan anda menghadapi krisis, anda mungkin saja mulai melakukan bargaining. Contohnya, ”saya berjanji akan lebih perhatian”, ”aku akan lebih mencinta dia”. Pada tahap ini, anda mungkin akan merasa sakit dan ketakutan akan kehilangan hubungan yang telah terjalin sehingga membuat anda tidak dapat berpikir secara rasional.
4. Depression
Pada tahap ini, anda akan kehilangan minat pada dunia luar, sulit berkonsentrasi, selera makan yang tidak terkontrol, menjadi seorang yang pelupa, dan bingung. Depresi dapat juga diekspresikan dalam bentuk tangisan terus-menerus.
5. Acceptance
Tahap terakhir, acceptance, dibutuhkan agar anda dapat bergerak maju. Ada dua tipe acceptance, yaitu intelektual (muncul lebih dahulu) dan emosional (muncul berikutnya). Intelektual artinya memahami apa yang telah terjadi, sedangkan emosional artinya anda dapat berdiskusi dengan pasangan mengenai perselingkuhan yang dilakukan tanpa memberikan reaksi pada tahap-tahap sebelumnya. Pada kasus kebanyakan, setelah waktu yang lama, kebanyakan orang dapat mengintegrasikan kedua tipe acceptance tersebut dalam menghadapi masalah mereka.
Sumber :
Ariyani, Mira. (2004). Faktor yang Berperan dan Proses yang Terjadi Dalam Keputusan
Perempuan Dewasa Untuk Menjadi Istri Kedua Pada Pernikahan Poiligami. Skripsi Sarjana. Depok : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
De De Genova, Mary Kay & Rice, F. Philip. (2005). Intimate relationships, marriages and families. 6th edition. New York: McGraw-Hill.
Duvall, Evelyn M. & Miller, Brent C. (1985). Marriage and Family Development (6th Ed.). New York: Harper & Row Publishers.
Green, Ernest J. (1978). Personal relationships: An approach to marriage and family. USA: McGraw-Hill Book Company.
Subotnik, Rona B., Harris, Gloria G. (2005) Surviving Infidelity : Making decision, recovering from the pain (3rd edition). Canada : Adams Media
Weiten, W. & Lloyd, M.A. (1997). Psychology applied to modern life: Adjustment in the 90s (5th ed). USA: Brooks / Cole Publishing Company.
http://id.wikipedia.org/wiki/Poligami
http://www.pks-kotatangerang.or.id