“… Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti misykat yang di dalamnya ada
pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan
bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak
dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak
di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang
minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.
Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis)…” [QS. An-Nur: 35].
Hai Nabi sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa
kabar gembira dan pemberi peringatan, dan untuk jadi penyeru kepada
Agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi
(sirajan munira). [QS. Al-Ahzab: 45-46]
Ibnu Katsir menyatakan dalam Tafsirnya: “Firman-Nya: ‘…sirajan munira,’
adalah: statusmu (Wahai Nabi) nampak dalam kebenaran yang telah kau bawa
sebagaimana matahari nampak saat terbitnya dan bercahaya, yang tak bisa
disangkal siapa pun kecuali yang keras-kepala.”
Saat Allah SWT mengeluarkan keputusan Ilahiah untuk mewujudkan makhluq,
Ia pun menciptakan Haqiqat Muhammadaniyyah (Realitas Muhammad –Nuur
Muhammad) dari Cahaya-Nya. Ia SWT kemudian menciptakan dari Haqiqat ini
keseluruhan alam, baik alam atas maupun bawah. Allah SWT kemudian
memberitahu Muhammad akan Kenabian-nya, sementara saat itu Adam masih
belum berbentuk apa-apa kecuali berupa ruh dan badan. Kemudian darinya
(dari Muhammad) keluar tercipta sumber-sumber dari ruh, yang membuat
beliau lebih luhur dibandingkan seluruh makhluq ciptaan lainnya, dan
menjadikannya pula ayah dari semua makhluq yang wujud.
Dalam Sahih Muslim, Nabi (saaw) bersabda bahwa Allah SWT telah menulis
Taqdir seluruh makhluq lima puluh ribu tahun (dan tahun di sisi Allah
adalah berbeda dari tahun manusia) sebelum Ia menciptakan Langit dan
Bumi, dan `Arasy-Nya berada di atas Air, dan di antara hal-hal yang
telah tertulis dalam ad-Dzikir, yang merupakan Umm al-Kitab (induk
Kitab), adalah bahwa Muhammad (saaw) adalah Penutup para Nabi. Al Irbadh
ibn Sariya, berkata bahwa Nabi (saaw) bersabda, “Menurut Allah, aku
sudah menjadi Penutup Para Nabi, ketika Adam masih dalam bentuk tanah
liat.”
Jadi, Allah SWT telah mengaruniakan kenabian dan kerasulan pada ruh Nabi
(saaw) bahkan sebelum penciptaan Adam. Ketika Adam telah diciptakan dan
melihat kepada gerbang jannah, maka tampaklah tulisan ‘Laa ilaaha
illallaah, Muhammadur Rasuulullaah’. Haqiqat Nabi Muhammad (saaw) telah
wujud sejak saat itu, meski tubuh ragawinya baru diciptakan kemudian.
Asy-Syi’bi meriwayatkan bahwa seorang laki-laki bertanya, “Ya
RasulAllah, kapankah Anda menjadi seorang Nabi?” Beliau menjawab,
“Ketika Adam masih di antara ruh dan badannya, ketika janji dibuat
atasku.” Karena itulah, beliau (saaw) adalah yang pertama diciptakan di
antara para Nabi, dan yang terakhir diutus.
`Ali ibn Abi Thalib (kwh) dan Ibn `Abbas (ra) keduanya meriwayatkan
bahwa Nabi (saaw) bersabda, “Allah tak pernah mengutus seorang nabi,
dari Adam dan seterusnya, melainkan sang Nabi itu harus melakukan
perjanjian dengan-Nya berkenaan dengan Muhammad (saaw): seandainya
Muhammad (saaw) diutus di masa hidup sang Nabi itu, maka ia harus
beriman pada beliau (saaw) dan mendukung beliau (saaw), dan Nabi itu pun
harus mengambil janji yang serupa dari ummatnya.
Diriwayatkan bahwa ketika Allah SWT menciptakan Nur Nabi kita Muhammad
(saaw), Allah memerintahkan padanya untuk memandang pada nur-nur dari
Nabi-nabi lainnya. Cahaya beliau melingkupi cahaya mereka semua, dan
Allah SWT membuat mereka berbicara, dan mereka pun berkata, “Wahai,
Tuhan kami, siapakah yang meliputi diri kami dengan cahayanya?” Allah
SWT menjawab, “Ini adalah cahaya dari Muhammad bin `Abdullah; jika
kalian beriman padanya akan Kujadikan kalian sebagai nabi-nabi.” Mereka
menjawab, “Kami beriman padanya dan pada kenabiannya.” Allah berfirman,
“Apakah Aku menjadi saksimu?” Mereka menjawab, “Ya.” Allah berfirman,
“Apakah kalian setuju, dan mengambil perjanjian dengan-Ku ini sebagai
mengikat dirimu?” Mereka menjawab, “Kami setuju.” Allah berfirman, “Maka
saksikanlah (hai para Nabi), dan Aku menjadi saksi (pula) bersamamu.”
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi:
“Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah,
kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada
padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan
menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima
perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami
mengakui”. Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi)
dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. [QS. Ali Imran: 81]
Syaikh Taqiyyud Diin as-Subki mengatakan, “Dalam ayat mulia ini, tampak
jelas penghormatan kepada Nabi (saaw) dan pujian atas kemuliaannya. Ayat
ini juga menunjukkan bahwa seandainya beliau diutus di zaman Nabi-nabi
lain itu, maka risalah da’wah beliau pun harus diikuti oleh mereka.
Karena itulah, kenabiannya dan risalahnya adalah universal dan umum bagi
seluruh ciptaan dari masa Adam hingga hari Pembalasan, dan seluruh Nabi
beserta ummat mereka adalah termasuk pula dalam ummat beliau (saaw).
Jadi, sabda sayyidina Muhammad (saaw), “Aku telah diutus bagi seluruh
ummat manusia,” bukan hanya ditujukan bagi orang-orang di zaman beliau
hingga Hari Pembalasan, tapi juga meliputi mereka yang hidup sebelumnya.
Hal ini menjelaskan lebih jauh perkataan beliau, “Aku adalah seorang
Nabi ketika Adam masih di antara ruh dan badannya.” Berpijak dari hal
ini, Muhammad (saaw) adalah Nabi dari para nabi, sebagaimana telah pula
jelas saat malam Isra’ Mi’raj, saat mana para Nabi melakukan salat
berjama’ah di belakang beliau (yang bertindak selaku Imam). Keunggulan
beliau ini akan menjadi jelas nanti di Akhirat, saat seluruh Nabi akan
berkumpul di bawah bendera beliau. Beliau (saaw) adalah Sayyidunnaas
(Tuan manusia) dan Imam para Rasul. Orang-orang beriman sebelum Nabi
(saaw) diutus, selain mereka harus mengakui bahwa tiada yang pantas
disembah kecuali Allah dan bahwa Rasul mereka saat itu adalah seorang
Rasul; mereka juga harus mengakui bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.
Setiap Nabi dan Rasul pasti menceritakan tentang Nabi Muhammad (saaw).
Hingga ummat mereka mengenal Nabi (saaw) seperti mereka mengenal
anak-anak mereka